Rabu, 30 Maret 2011

LINE BALANCING

 
BAB II
LANDASAN TEORI



2.1.      Definisi Line Balancing
Line balancing merupakan penyeimbangan penugasan elemen-elemen tugas dari suatu assembly line ke work stations untuk meminimumkan banyaknya work station dan meminimumkan total harga idle time pada semua stasiun untuk tingkat output tertentu, yang dalam penyeimbangan tugas ini, kebutuhan waktu atau unit produk yang dispesifikasikan untuk setiap tugas dan hubungan sekuensial harus dipertimbangkan. Dapat pula dikatakan bahwa line balancing sebagai suatu teknik untuk menentukan product mix yang dapat dijalankan oleh suatu assembly line untuk memberikan fairly consistent flow of work melalui assembly line itu pada tingkat yang direncanakan (Gaspersz, 1998)
Lintasan produksi merupakan suatu urutan proses pengerjaan yang diperlukan untuk memproduksi suatu barang atau jasa. Suatu lintasan produksi, jumlah total kerja yang dilakukan pada lintasan harus dipecahkan ke dalam elemen-elemen kerja yang ditetapkan pada stasiun kerja sehingga kerja dapat dilakukan pada sebuah rangkaian fleksibel atau dapat dilakukan dengan mudah (Bed Warth,1982).
Assembly line merupakan bagian dari lini produksi yang berupa perakitan material dimana materialnya beragerak kontinyu dengan rata-rata laju kedatangan material berdistribusi seragam melewati stasiun kerja dan bertujuan merakit material menjadi sub assembly untuk kemudian menjadi sebuah produk jadi atau dengan pengertian yang lain adalah sekelompok orang dan mesin yang melakukan tugas-tugas sekuensial dalam merakit suatu produk. Dalam lini perakitan terdapat dua masalah pokok yaitu penyeimbangan stasiun kerja dan penyeimbangan lini perakitan agar dapat beroperasi secara kontinyu.
Pemecahkan masalah diatas digunakanlah metode line balancing untuk memperoleh suatu arus produksi yang lancar dalam rangka memperoleh utilitas yang tinggi atas fasilitas, tenaga kerja, dan peralatan melalui penyeimbangan waktu kerja antar work station, dimana setiap elemen tugas dalam suatu kegiatan produk dikelompokkan sedemikian rupa dalam beberapa stasiun kerja yang telah ditentukan sehingga diperoleh keseimbangan waktu kerja yang baik dan mengurangi idlle time. Idle time itu sendiri adalah waktu dimana operator atau sumber-sumber daya seperti mesin, tidak menghasilkan produk karena setup, perawatan (maintenance), kekurangan material, kekurangan perawatan, atau tidak dijadwalkan.
Tujuan line balancing adalah untuk memperoleh suatu arus produksi yang lancar dalam rangka memperoleh utilisasi yang tinggi atas fasilitas, tenaga kerja, dan peralatan melalui penyeimbangan waktu kerja antar work station, dimana setiap elemen tugas dalam suatu kegiatan produk dikelompokkan sedemikian rupa dalam beberapa stasiun kerja yang telah ditentukan sehingga diperoleh keseimbangan waktu kerja yang baik. Permulaan munculnya persoalan line balancing berasal dari ketidak seimbangan lintasan produksi yang berupa adanya work in process pada beberapa workstation (Purnomo, 2004).
 Persyaratan umum yang harus digunakan dalam suatu keseimbangan lintasan produksi adalah dengan meminimumkan waktu menganggur (idle time) dan meminimumkan pula keseimbangan waktu senggang (balance delay) (Gaspersz, 1998).
Sedangkan tujuan dari lintasan produksi yang seimbang adalah sebagai berikut (Gaspersz, 1998).
1.      Menyeimbangkan beban kerja yang dialokasikan pada setiap workstation sehingga setiap workstation selesai pada waktu yang seimbang dan mencegah terjadinya bottle neck. (bottle neck adalah suatu operasi yang membatasi output dan frekuensi produksi.)
2.      Menjaga agar pelintasan perakitan tetap lancar dan berlangsung terus menerus.
3.      Meningkatkan efisiensi atau produktifitas.
2.2.      Prosedur Line Balancing
Prosedur line balancing bertujuan untuk meminimalkan harga balance delay dari lintasan untuk nilai waktu siklus yang ditetapkan. Jumlah ini diharapkan akan bisa pula meminimalkan jumlah stasiun kerja. Prosedur dasar yang dilaksanakan adalah dengan menambahkan elemen-elemen aktivitas dengan setiap stasiun kerja sampai jumlahnya mendekati sama, tetapi tidak melebihi harga waktu siklus. Biasanya akan dijumpai hambatan-hambatan dari elemen-elemen aktivitas yang ditempatkan dalam suatu stasiun kerja. Untuk itu yang terpenting ialah tetap memperhatikan “the precedence constsraint”. Precedence constraint (atau bisa diistilahkan dengan ketentuan hubungan suatu aktivitas untuk mendahului aktivitas lain) bisa digambarkan dalam bentuk ”precedence diagram”, dimana secara sederhana diagram ini akan bisa dimanfaatkan sebagai prosedur dasar untuk mengalokasikan elemen-elemen aktivitas (Sritomo, 2006).
Prosedur-prosudur  dalam menganalisa suatu lintas produksi adalah sebagai berikut (Suryadi, 1996).
1.   Penentuan jumlah stasiun kerja dan waktu pada stasiun-stasiun kerja tersebut.
2.   Pengelompokkan operasi-operasi ke dalam stasiun kerja.
3.   Evaluasi terhadap efisiensi lintasan setelah pengelompokkan.
Apabila waktu tersedia pada sebuah stasiun kerja melebihi kapasitas satu pekerja, maka ditambahkan operator atau robot pada stasiun kerja tersebut. Kunci bagi lintasan produksi yang efisien dan seimbang adalah pengelompokkan operasi sedemikian rupa sehingga waktu baku pada sebuah stasiun kerja sama atau sedikit di bawah waktu siklus (atau beberapa kali waktu siklus jika lebih dari satu pekerja dibituhkan pada satu stasiun kerja). Lintasan yang efisien berarti minimalnya waktu menganggur. Efisiensi lintasan dapat dihitung sebagai berikut:
=
2.3.      Metode Penyeimbangan Line Balancing
            Penyeimbangan lini perakitan dapat dilakukan dengan berbagai macam metode, antara lain: (Purnomo, 2004),
1.      Metode kilbridge-wester heuristic.
2.      Metode helgeson-birnie.
3.      Metode moodie young.
4.      Metode immediate updater First-Fit Heuristic.
5.      Metode rank and assign heuristic.
Dari kelima metode tersebut yang paling sering digunakan adalah metode kilbridge-Wester Heuristic, Moodie-Young, dan Helgenson-Birnie.

2.3.1    Metode Kilbridge-Wester Heuristic
            Sesuai dengan namanya metode ini dikembangkan oleh Kilbridge dan Wester. Langkah-langkah dalam metode ini adalah sebagai berikut (Purnomo, 2004):
1.      Membuat precedence diagram dari precedence data yang ada dan membuat tanda daerah-daerah yang memuat elemen-elemen kerja yang tidak saling bergantung.
2.      Menentukan waktu siklus dengan cara mencoba-coba (trial) faktor dari total elemen kerja yang ada.
3.      Mendistribusikan elemen kerja pada setiap stasiun kerja dengan aturan bahwa total waktu elemen kerja yang terdistribusi pada stasiun kerja tidak boleh melebihi waktu siklus yang ditetapkan.
4.      Mengeluarkan elemen kerja yang telah didistribusikan pada stasiun kerja, dan mengulangi langkah 3 sampai semua elemen kerja yang ada teristribusi ke stasiun kerja.

2.3.2    Metode Moodie-Young
            Metode Moodie-Young terdiri dari dua fase. Fase pertama adalah membuat pengelompokan stasiun kerja. Elemen kerja ditempatkan pada stasiun kerja dengan aturan bila terdapat dua elemen kerja yang bias dipilih maka elemen kerja yang mempunyai waktu lebih besar ditempatkan yang pertama. Pada fase ini pula, precedence diagram dibuat matriks P dan F, yang menggambarkan elemen darj pendahulu (P) dan elemen kerja yang mengikuti (F) untuk semua elemen kerja yang ada (Purnomo, 2004).
            Pada fase kedua dilakukan redistribusi elemen kerja ke setiap stasiun kerja hasil dari fase satu. Langkah-langkah yang harus dilakukan pada fase dua ini adalah sebagai berikut (Purnomo, 2004) :
1.      Mengidentifikasikan waktu stasiun kerja terbesar dan waktu stasiun kerja terkecil.
2.      Menentukan GOAL dengan rumus
GOAL = waktu stasiun kerja max – waktu stasiun kerja min
2
3.      Mengidentifikasi sebuah elemen kerja yang terdapat dalam stasiun kerja dengan waktu yang paling maksimum, yang mempunyai waktu lebih kecil dari GOAL, yang elemen kerja tersebut apabila dipindah ke stasiun kerja dengan waktu yang paling minimum tidak melanggar precedence diagram.
4.      Memindahkan elemen kerja tersebut.
5.      Ulangi evaluasi sampai tidak ada lagi elemen kerja yang dapat dipindah.

2.3.3    Metode Helgesson-Birnie
Ranked Positional Weight adalah metode yang diusulkan oleh Helgeson dan Birnie sebagai pendekatan untuk memecahkan permasalahan pada keseimbangan lini dan menemukan solusi dengan cepat. Konsep dari metode ini adalah menentukan jumlah stasiun kerja minimal dan melakukan pembagian task ke dalam stasiun kerja dengan cara memberikan bobot posisi kepada setiap task sehingga semua task telah ditempatkan kepada sebuah stasiun kerja. Bobot setiap task, misal task ke-i dihitung sebagai waktu yang dibutuhkan untuk melakukan task ke-i ditambah dengan waktu untuk mengeksekusi semua task yang akan dijalankan setelah task ke-i tersebut. Urutan langkah-langkah pada metode Ranked Positional Weight adalah sebagai berikut (Saptanti, Dyah) :
1.   Lakukan penghitungan bobot posisi untuk setiap task. Bobot posisi setiap task dihitung dari bobot suatu task ditambah dengan bobot task-task setelahnya.
2.   Lakukan pengurutan task-task berdasarkan bobot posisi, yaitu dari bobot posisi besar ke bobot posisi kecil.
3.   Tempatkan task dengan bobot terbesar ke sebuah stasiun kerja sepanjang tidak melanggar precedence constraint dan waktu stasiun kerja tidak melebihi waktu siklus.
4.   Lakukan langkah 3 hingga semua task telah ditempatkan kepada suatu stasiun kerja.   

2.4       Utilisasi
Mengukur hasil suatu lini perakitan, digunakan pengukuran utilisasi. Pengukuran utilisasi dilakukan dengan cara melakukan pengukuran Efisiensi Lini dan
Balance Delay, dan Smoothness Index (Saptanti, Dyah).
1.   Efisiensi Lini
Yaitu tingkat efisiensi stasiun kerja rata-rata pada suatu lini perakitan. Semakin mendekati waktu siklus, efisiensi suatu lini semakin bagus. Efisiensi Lini dihitung dari prosentase total waktu proses setiap task dibandingkan dengan total waktu siklus di semua stasiun kerja. Efisiensi Lini dinotasikan dengan:


dengan :
M = jumlah stasiun                                                  
C = waktu siklus
ti = waktu proses task ke-I
N = jumlah task
i = 1, 2, 3, ..., N
EL = Efisiensi Lini
2.   Balance Delay (BD)

pembagian kerja antarstasiun yang tidak merata. Penghitungan Balance Delay dilakukan dengan menggunakan persamaan seperti berikut ini:
dengan :
C = waktu siklus
S = waktu stasiun rata-rata
Untuk stasiun kerja sejumlah M, persamaan BD dapat juga dituliskan seperti berikut ini :


dengan selisih total waktu siklus di semua stasiun dan total waktu stasiun pasti positif:


dan :
M = jumlah stasiun
C = waktu siklus
S = waktu stasiun rata-rata
ti = waktu proses task ke-i
N = jumlah task
i = 1, 2, 3, ..., N
3.   Smoothness Index
Yaitu cara untuk mengukur tingkat waktu tunggu relatif dari suatu lini perakitan. Semakin mendekati nol nilai Smoothness Index suatu lini, maka semakin seimbang suatu lini, artinya pembagian task-task cukup merata. Lini dikatakan mempunyai keseimbangan sempurna jika nilai Smoothness Index nol. Smoothness Index dinotasikan sebagai berikut:

dengan :
SI = Smoothness Index
M = jumlah stasiun
C = waktu siklus
Si = waktu stasiun kerja ke-i
i = 1, 2, 3, …, N

DAFTAR PUSTAKA


Bedworth, D. Integrated Production Control System. New York: John Willey and Sons Inc. 1982.
Saptanti, Dyah. ”Perbandingan Metode Ranked Positional Weight dan Kilbridge Wester Pada Permasalahan Keseimbangan Lini Lintasan Produksi Berbasis Single Model”. Bandung: ITB.
Nasrullah, Reza dan MT, Suryadi. Pengantar Teknik Industri. Jakarta: Gunadarma. 1996.
Purnomo, Hari. Pengantar Teknik Industri. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2004.
Vincent Gaspersz, Dr, D.Sc., CFPIM, CIQA, 1998. Production Planning And Inventory Control: Berdasarkan Pendekatan Sistem Teritegrasi MRP II dan JIT Menuju Manufacturing 21, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Wignjosoebroto, Sritomo. Ergonomi Studi Gerak dan Waktu. Surabaya: Guna Widya. 2008.



1 komentar: